Non Deforestasi : Berkenalan dengan High Carbon Stock Approach (HCSA)

By | May 29, 2017

Beberapa waktu yang lalu, timeline media sosial ramai dengan isu Buzzer Sawit. Sejumlah buzzer pun menyampaikan permintaan maaf karena dengan/tanpa sadar terlibat dalam suatu kampanye terkait pembakaran hutan.

Ya, penebangan dan pembukaan lahan sawit yang seringkali dilakukan dengan melakukan pembakaran hutan, kerap dituduh sebagai biang kerok penghasil gas rumah kaca dan mengurangi penghasil karbon. Secara luas, kawasan penghasil karbon ini meliputi lahan gambut, hutan primer, dan hutan hujan. United Nations Environment Programme (UNEP) menghitung, pembukaan hutan menyumbang hampir 20% dari gas rumah kaca global

Fakta Hutan Indonesia

Ketika ramai berita mengenai kabut asap yang terjadi di Riau beberapa waktu yang lalu, saya sempat mendapatkan pertanyaan dari Ceuceu.

“Mah, orang-orang itu kan tinggal di kota. Kebakarannya di hutan. Di kota saja asapnya segitu tebal. Kasihan harus pakai masker terus. Terus, Mah… bagaimana dengan hewan-hewan di hutan?”, tanya Ceuceu dengan mimik muka penuh rasa khawatir.

Asap pekat dari kebakaran lahan gambut di Plintung, Medan Kampai, Dumai, Riau, Selasa (18/3). Sumber gambar : Kompas

Ceuceu kemudian secara aktif mencari informasi sendiri melalui internet. Dan akhirnya, Ceuceu menemukan berita adanya harimau Sumatera yang keluar hutan akibat habitatnya hangus terbakar di hutan Bengkalis (Sumber : Tempo)

Kekhawatiran Ceuceu akan keselamatan hewan saat hutan terbakar bukan tanpa alasan. Apalagi sejak kunjungannya ke Taman Safari beberapa waktu yang lalu, Ceuceu pun jadi tahu kalau harimau Sumatera dan orangutan saat ini merupakan satwa kritis yang terancam punah (critically endangered).

“Kenapa harimau bisa terancam punah? Tadi kata oom keeper orangutan, orangutan juga sama, hampir punah. Gajah Sumatera juga katanya terancam punah 30 tahun lagi. Padahal hutan di Indonesia ini kan luas??? Seharusnya mereka aman di rumah mereka”,begitu tanya Ceuceu ketika melihat poster Save The Sumatran Tiger di sekeliling Taman Safari.

Harimau Sumatera memang hanya dapat ditemukan di pulau Sumatera, Indonesia. Jumlah populasinya di alam bebas hanya sekitar 400 ekor.

Begitu pun dengan orangutan yang hanya ada di Borneo dan Sumatera yang juga terancam punah. Orangutan adalah pemelihara hutan. Orangutan membantu menyebarkan biji tanaman dengan mengeluarkan biji buah yang mereka makan bersama kotoran. Biji akan tumbuh menjadi pohon baru. Dalam pertumbuhannya, pohon kecil memerlukan sinar matahari. Karena hutan sangat lebat, sinar matahari terhalang sampai ke tanah. Saat makan atau membuat sarang, orangutan mematahkan dahan pohon dan mengambil daun-daunan. Bagian atas pohon menjadi terbuka sehingga sinar matahari dapat sampai di permukaan tanah.

Di habitat alaminya, jumlah orangutan di Borneo sekitar 23.000 dan orangutan Sumatra sekitar 12.000.

Kelangkaan satwa khas Indonesia ini terjadi karena mereka menghadapi dua jenis ancaman untuk bertahan hidup: mereka kehilangan habitat karena tingginya laju deforestasi dan terancam oleh perdagangan illegal dimana bagian-bagian tubuhnya diperjualbelikan dengan harga tinggi di pasar gelap untuk obat-obatan tradisional, perhiasan, jimat dan dekorasi.

Indonesia memiliki hutan dengan luas sebesar 99,6 juta hektar atau 52,3% luas wilayah Indonesia (data : Buku Statistik Kehutanan Indonesia Kemenhut 2011 yang dipublikasi pada bulan Juli 2012). Dari jumlah tersebut, 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia merupakan lahan hutan gambut. Dari luasan tersebut sekitar 7,2 juta hektar atau 35%-nya terdapat di Pulau Sumatera.

Lahan rawa gambut merupakan bagian dari sumberdaya alam yang mempunyai fungsi untuk pelestarian sumberdaya air, peredam banjir, pencegah intrusi air laut, pendukung berbagai kehidupan / keanekaragaman hayati, pengendali iklim (melalui kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon) dan sebagainya.

Lahan gambut di Indonesia menyimpan hampir 60 miliar ton karbon, hampir enam kali lipat lebih banyak dibanding emisi karbon yang dihasilkan oleh seluruh umat manusia sepanjang tahun 2011.

Dalam kurun waktu selama 12 tahun (1990 – 2002) telah terjadi penyusutan cadangan karbon di Pulau Sumatera sekitar 3.470 juta ton atau rata-rata 289,16 juta ton per tahun. (Sumber : Wetlands)

Penyusutan ini terjadi diduga sebagai akibat adanya perubahan penggunaan lahan dan vegetasi penutup (land use and land cover changes) yang umumnya digunakan untuk pengembangan pertanian/ perkebunan maupun oleh akibat adanya kebakaran lahan dan hutan.

Berdasarkan temuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 99% kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan karena sengaja dibakar dan mereka tetap melakukannya meskipun musim hujan. Titik panas kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan masih bertambah hingga bulan September 2014 ini. Seperti tanggal 13 September kemarin, titik panas keseluruhan terpantau sebanyak 351 titik, tapi pada tanggal 15 September menjadi 1.694 titik. (Sumber : Detik)

Berdasarkan pantauan Green Peace, dari 2.140 titik api sepanjang Februari 2014, 857 di antaranya berada di habitat harimau Sumatera. (Sumber : Tempo)

Sementara berdasarkan data dari Komisi Eropa dan Badan Peninjauan Lingkungan Belanda yang dirilis tahun 2013Indonesia masuk kedalam peringkat 10 besar negara-negara yang menghasilkan emisi karbondioksida tertinggi (Sumber : CNN Indonesia)

negara penghasil emisi karbon

Selama 16 tahun masyarakat di Sumatera, Kalimantan bahkan negara tetangga terkurung asap, sementara seluruh penduduk dunia mulai merasakan efek hilangnya cadangan karbon di dunia karena deforestasi. Apakah kita hanya akan berdiam diri?

Ya, ancaman terbesar pada hutan alam Indonesia adalah alih fungsi hutan menjadi perkebunan, penebangan liar, perambahan, kebakaran hutan serta eksploitasi hutan secara tidak lestari untuk pengembangan pemukiman dan industri.

Kebakaran Hutan, Salah Siapa?

Ceuceu pun kemudian bertanya, kenapa orang-orang membakar hutan dengan sengaja?

Kemudian saya jelaskan bahwa masih banyak orang-orang yang memakai produk yang berasal dari hutan, misalnya tissue, dimana 20 sheet tissue atau satu bungkus kertastissue memerlukan satu pohon.

“Oh, kalau begitu Ceuceu gak mau pakai tissue lagi ah, pakai handuk kecil saja”.

Pertanyaan lanjutan dari Ceuceu adalah, kalau memang dilarang, mengapa orang-orang yang membakar hutan itu tidak dihukum?

Rasanya sulit menjelaskan kepada anak seusia Ceuceu mengenai tumpulnya regulasi dan kebijakan terhadap pelaku eksploitasi hutan. Disinilah perlunya peran aktif pemerintah. Pemerintah  perlu melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat di sekitar mengenai peran penting masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan dan kesalahan-kesalahan saat mengelola tanaman yang bisa berdampak negatif terhadap hutan.

Selain edukasi terhadap masyarakat di sekitar hutan, juga perlu sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat untuk mengurangi penggunaan produk yang berasal dari hutan dan perkebunan kelapa sawit yang tidak dikelola dengan prinsip ramah lingkungan (berkelanjutan) yang dihasilkan oleh perusahaan yang mengeksploitasi hutan.

Yang paling penting, diperlukan tindakan yang tegas dari pemerintah untuk menanggulangi masalah penebangan liar dan eksploitasi hutan secara besar-besaran.

Non Deforestasi : Berkenalan dengan High Carbon Stock Approach (HCSA)

High Carbon Stock (HCS) Approach Toolkit merupakan sebuah terobosan bagi berbagai perusahaan, masyarakat, institusi dan praktisi teknis yang memiliki komitmen bersama untuk melindungi hutan alam sekunder yang tengah mengalami regenerasi, yang menyediakan cadangan karbon penting, habitat bagi keanekaragaman hayati dan mata pencaharian bagi masyarakat lokal.

“Membiarkan deforestasi atau pembabatan hutan alam demi perkebunan sudah merupakan suatu hal di masa lalu. Hari ini, kami meluncurkan sebuah toolkit dengan metodologi yang memberikan panduan teknis yang praktis dan terbukti kuat secara ilmiah, untuk mengidentifikasi dan melindungi hutan alam tropis,” kata Grant Rosoman selaku Co-Chair dari High Carbon Stock (HCS) Steering Group.

“Selama dua tahun, para pemangku kepentingan telah menyatukan berbagai upaya untuk menyepakati satu-satunya pendekatan global untuk menerapkan praktek ‘Non-Deforestasi’. Metodologi yang dihasilkan telah memperluas persyaratan sosialnya, pengenalan dan penerapan terhadap data cadangan karbon,yang mencakup teknologi baru termasuk penggunaan LiDAR, untuk mengoptimalisasi konservasi dan hasil produksi serta dapat diadaptasi bagi petani-petani kecil.”

“Koalisi yang unik ini telah bersatu, dalam menanggapi meningkatnya kekhawatiran akan dampak pembabatan hutan alam tropis terhadap iklim, satwa dan hak-hak masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan. Kami menyambut positif atas diterapkannya metodologi ini dalam skala yang luas untuk mendukung hak-hak dan mata pencaharian masyarakat lokal, menjaga kadar karbon hutan dan keanekaragaman hayati serta kegiatan pengembangan terhadap lahan-lahan olahan secara bertanggung-jawab,” tambahnya.

Versi pertama dari HCS Approach Toolkit sebelumnya telah dirilis pada April 2015. Versi baru yang telah disempurnakan yang dirilis hari ini telah meliputi penelitian ilmiah terbaru, evaluasi dari percobaan lapangan, serta topik-topik baru dan masukan-masukan dari berbagai kelompok kerja HCS Approach Steering Group, sebuah organisasi keanggotaan yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan yang mengatur HCS Approach. Toolkit baru ini juga menyajikan penyempurnaan, penambahan dan perubahan-perubahan penting pada metodologinya, sebagai hasil dari ‘Kesepakatan Konvergensi’ antara HCS Approach dan HCS Study, pada November 2016 lalu. Dengan telah dilengkapinya HCS Approach Toolkit Versi 2.0, HCS Steering Group saat ini dapat fokus pada uji coba metodologinya, agar dapat disesuaikan bagi para petani kecil, serta memperkuat persyaratan sosial yang dikembangkan sebagai bagian dari proses konvergensi HCS.

Sumber Referensi

  1. http://www.cnnindonesia.com/internasional/20151130171044-137-94992/sepuluh-negara-penghasil-emisi-karbon-dioksida-terbesar/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *