Berantas TB, Tenaga Kesehatan tidak bisa berjalan sendiri

By | March 7, 2015

“Sehari ada berapa pasien yang ke klinik TB MDR ini pak?”, tanya saya

“Sekitar 70 pasien”, jawab bapak yang saya malah lupa menanyakan siapa namanya… heuheu… maafkan ya Pak 🙂

“Berapa perbandingan pasien yang berobat dan yang sudah sembuh total?”, masih penasaran saya bertanya lagi.

“Dari tahun 2012 sampai 2014, yang dirujuk ke sini saja ada 300 pasien TB-MDR. Dari 300 pasien, yang sembuh ada 50 orang. Sisanya? Sebagian masih berobat, sebagian lagi hilang. Yang hilang itu ya, wallohu alam. Mungkin saja meninggal karena putus berobat”, jelas si bapak.

Deg! Terbayanglah pasien TB-MDR yang putus berobat itu kemudian tanpa disadari menularkan TB-MDR yang dideritanya kepada orang-orang di sekitar mereka. 1 pasien TB bisa menulari 10-15 orang di sekitarnya. Yang tertular ini kemudian menulari orang lain di sekitarnya. Begitu seterusnya seperti bola salju yang semakin lama semakin besar.

Sempat terlintas pertanyaan, kenapa mereka yang putus berobat itu tidak dikejar? Tapi kemudian saya melihat ke sekeliling klinik. Kesibukan jelas terlihat di sana.

IMG_5572

Dokter sedang melayani pasien di Klinik TB-MDR RSHS (dokpri)

Saat saya berkunjung ke klinik TB-MDR dalam rangkaian Workshop #SahabatJKN #LawanTB saja, ada sekitar 15-20 orang yang sedang duduk mengantri.  Semua memakai masker. Satu orang diantara mereka duduk di bed, menunggu giliran suntik.

IMG_5573

Pasien TB-MDR yang akan disuntik di Klinik TB-MDR RSHS (dokpri)

Di klinik TB-MDR ini, pasien TB-MDR memang mendapatkan suntikan setiap hari selama 6 bulan! Tak heran jika cukup banyak pasien TB-MDR yang putus berobat. Saya sendiri bisa membayangkan betapa beratnya beban ekonomi yang harus mereka tanggung.

Obat dan suntikan memang bisa mereka peroleh dengan gratis. Tapi bagaimana dengan biaya perjalanan dari rumah menuju rumah sakit? Ada yang harus naik perahu menyeberang kali kemudian melanjutkan perjalanan dengan naik angkot berkali-kali agar sampai di RSHS.

Belum lagi jika mereka berada dalam usia produktif, waktu yang seharusnya mereka gunakan untuk bersekolah atau bekerja, akhirnya habis terpakai untuk berobat ke RSHS.

Saat bertemu pasien TB-MDR yang sudah menjalani pengobatan selama 18 bulan di klinik TB-MDR lanjutan, beliau bercerita kalau pekerjaan yang selama ini ditekuninya terpaksa ditinggalkan.

“Mengundurkan diri. Abis gimana lagi, kan harus ke sini tiap hari”, ujar beliau.

Pasien TB-MDR di Klinik TB-MDR II (Sumber : Eyang @anjarisme)

Pengobatan TB-MDR memang jauh lebih rumit dibanding TB. Jika TB cukup diobati selama 6 bulan dengan PMO yang berasal dari keluarga sendiri, tidak demikian halnya dengan TB-MDR.

Pasien TB-MDR harus menjalani pengobatan setiap hari di layanan kesehatan, 6 bulan pertama disuntik di klinik TB-MDR I, bulan berikutnya sampai genap 24 bulan harus minum obat di klinik TB-MDR II dengan PMO tenaga kesehatan.

Bagaimana seseorang bisa didiagnosis TB-MDR? TB-MDR yang diderita seseorang bisa diperoleh melalui penularan dari orang lain yang sudah terinfeksi TB-MDR sebelumnya, atau karena pengobatan TB lini pertama selama 6 bulan yang tidak benar, misalnya saja ada dosis yang terlewatkan. Yup, obat TB lini pertama selama 6 bulan tidak boleh terlewat satu hari pun. Jika ada yang terlewat, resikonya TB menjadi resisten obat.

Oleh karena itu, menurut dr. Arto dari RSHS, pengobatan lini pertama selama 6 bulan ini merupakan masa paling efektif untuk sembuh dari TB.

Beberapa penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa kebanyakan kasus TB-MDR dan TB-XDR adalah akibat penularan dari orang yang sudah terinfeksi sebelumnya.

Hanya mengandalkan peran tenaga kesehatan untuk memberantas TB? Jelas tidak mungkin. Setiap harinya mereka juga sudah disibukkan dengan pasien yang datang berobat ke layanan kesehatan. Perlu peran aktif masyarakat untuk ikut memberantas TB. Caranya? Kenali dan pahami bagaimana gejala TB. (Selengkapnya bisa dibaca di tulisan saya berikut ini Terdiagnosa TB, Bukan Akhir Segalanya).

Amati sekeliling kita, jika ada yang mengalami gejala TB, segera ajak ke layanan kesehatan terdekat. Jika semua pihak bekerja sama dengan baik, bukan tidak mungkin Indonesia pasti bisa bebas dari TB.

11046923_645623005567184_8607320382964257470_n

One thought on “Berantas TB, Tenaga Kesehatan tidak bisa berjalan sendiri

  1. Efi Fitriyyah

    Iya ya, ma. ga bisa cuek dan menjauhi yang lagi sakit TB. Mungkin kita ga kena, tapi orang-orang terdekat kita bisa kena TB. Dengan membantu mereka untuk sembuh sama dengan melindungi diri dan keluarga. Ngeri denger biaya berobatnya yang mihil itu. kalau bebas tb kan anggaran pemerintah bisa dipakai buat yang lain, ya.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *