Masih ingat beberapa waktu yang lalu ada bule vlogger yang protes dengan kelakuan salah satu program televisi yang mencomot video dari youtube tanpa menyebutkan uploadernya? Bule itu namanya Martin Johnson.
Fenomena mencomot konten untuk bahan berita seperti ini sebenarnya juga membuat saya jengah. Bukan sekali dua kali sebuah topik jadi headline di media online atau elektronik hanya dengan mencomot status di media sosial. Memang sih, bahan berita bisa datang dari mana saja. Tapi sayangnya, tak jarang berita-berita di media online ini tanpa dikonfirmasi ulang dengan pemilik status.
Kembali ke kasus Martin, seharusnya sih program televisi yang mencomot videonya ini memberikan kredit dengan mencantumkan nama pembuat videonya, bukan hanya sekadar mencantumkan “Courtesy of YouTube”.
Dulu, saya pun sering begitu. Ketika menulis sumber gambar yang diperoleh dari internet cukup dengan mencantumkan “Sumber Gambar : Google” tanpa mencantumkan link lengkap.
Pernah ketika saya menulis artikel tentang sebuah tempat wisata dekat rumah, dan kebetulan saya sendiri belum pernah ke sana, saya memuat ulang foto hasil comot dari blog teman saya, jamannya multiply. Saat itu sih saya pikir apa yang sudah ada di internet, ya bebas saja saya pakai kembali. Jadilah foto teman saya nangkring di blog saya dan saya hanya mencantumkan “Sumber Gambar : Google” :))
Gak disangka, teman saya marah. Tapi kemudian saya klarifikasi dan tentu saja minta maaf karena sudah mencomot gambar beliau tanpa ijin.
Belakangan, saya semakin mengerti kalau membuat sebuah konten (baik itu tulisan maupun gambar) yang tayang di internet itu tidak mudah.
Ketika mencari foto pendukung yang cocok untuk bahan tulisan tentang peribahasa Sunda (baca : uyah mah tara tees ka luhur), saya menemukan sebuah foto tentang pembuatan garam di laut. Kapok pernah ditegur teman gara-gara ambil foto sembarangan, kemudian saya meminta ijin pemilik gambar melalui akun media sosialnya. Sampai tulisannya hampir tayang, belum ada jawaban dari si pemilik gambar. Akhirnya gambar tersebut tidak jadi saya pasang di blog. Beberapa minggu setelah tulisan tayang, barulah ada jawaban dari si pemilik gambar yang mengijinkan saya memakai gambar beliau hanya saja harus mencantumkan nama dan alamat blog beliau.
Bisa jadi program televisi yang ditegur Martin Johnson itu juga sudah insyaf seperti saya. Atau hanya tobat sambal.
Soalnya kemarin comot video dari youtube, sekarang giliran blogger yang kena comot. Kebetulan blogger yang kena comot ini teman saya sendiri, Mang Yono.
Di program andalan yang tayang di primetime tanggal 26 Februari kemarin, ada ulasan mengenai 7 Desa Terunik.
Kebetulan ada salah satu desa di Subang yang masuk kategori Desa Terunik, yaitu Desa Siluman.
Ada foto teman saya yang lain, Mang Dawock numpang lewat di program ini… dan tebak, fotonya ambil dari mana? Ya, dari blognya Mang Yono, hanya saja logonya dicrop hahaha… kasihan Mang Yono, gagal jadi seleb versi on the spot mang 😀
Saya sih gak nonton acaranya. Tapi di grup rame, ada Mang Dawock masuk tv. Sebelum menonton tayangan acaranya di youtube, saya sudah menduga kalau foo Mang Dawock ini diambil dari blognya Mang Yono.
Sepertinya sih memang sudah jadi kebiasaan kalau program televisi yang satu ini membuat konten hanya dengan comot bahan dari internet tanpa menyebutkan sumber utamanya dengan jelas, baik dari Youtube maupun dari blog.
Padahal, televisi yang mencomot konten youtubenya itu sudah mendapatkan keuntungan tanpa perlu sibuk shooting video apalagi memikirkan punya kamera/video kamera bagus dan lain sebagainya.
Sudah tahu kan program televisi apa yang saya maksud? Hmmm… kira-kira kapan kapoknya ya???
Dohh… iya teh… saya dah tau program televisi apa yang Teh Oin maksud… 🙂