15 menit Bersama Ibu Titin, Driver Blue Bird Perempuan – “Halo… Bu Rinrin? Pesan taksi ya Bu? Alamatnya dimana ya Bu? Ini saya dari Budi Luhur. Tempat Ibu gak jauh dari SPBU Setiabudi kan ya?“, suara perempuan di sebrang telepon ramah menyapa.
Saya pun menjelaskan titik penjemputan, di kantor Kudo Indonesia, Jalan Setiabudi No. 112 Bandung.
Sebelumnya seperti biasa, dari rumah menuju kantor Kudo pakai elf. Kali ini pas, ngetemnya gak terlalu lama. Penumpang gak terlalu penuh, juga gak terlalu kosong. Saya sempat tertidur sebentar dari Ciater sampai ke Lembang. Hah! Itu sih bukan sebentar, tapi setengah perjalanan haha…
Turun di Ledeng, hujan sudah menyambut saya. Menunggu sampai reda sepertinya akan lama. Ya sudah, saya naik angkot Cicaheum Ledeng sampai kantor Kudo. Supir angkot sempat mengeluh kosongnya penumpang saat hujan. Untungnya sih beliau juga gak mau buang-buang waktu dengan ngetem lama. Lagipula ngapain ngetem lama-lama, toh penumpangnya juga pada nyumput… kata si bapak. Hihi… sabar ya pak, terima kasih juga untuk gak terlalu lama ngetem, jadi saya bisa cepat sampai di kantor Kudo.
Urusan di kantor Kudo gak lama sih sebenarnya, setengah jam menerima penjelasan dari teteh Kudo, Serah terima tablet, sudah selesai. Sewaktu masih di terminal Ledeng tadi suami telepon saya, menanyakan kira-kira berapa lama urusan saya di kantor Kudo. Kalau sudah selesai sih suami minta saya naik gojek saja ke kantor. Hanya saja hujan yang cukup besar membuat saya galau. Galau gak bisa pakaiĀ gojek, pakai angkot juga pasti tetap kehujanan, gak bawa payung sih.
Untungnya suami menelepon saya lagi, menyarankan saya pakai taksi, soalnya suami juga masih ada kerjaan kantor, jadi belum bisa keluar jemput saya. Haduh. Gak ada pulsa, mana bisa nelepon taksi. Kuota juga sekarat, jadi gak bisa pesan lewat aplikasi. Suami bilang biar beliau yang pesan taksi untuk jemput saya. Ok lah, mudah-mudahan nanti sekalian dibayarin hahaha
Sewaktu ada telepon dari perempuan tadi, saya pikir itu dari CS. Tapi dilihat dari nomernya, eh… koq bukan nomer telepon CS ya? Masih diliputi kebingungan, segera saya keluar dari kantor Kudo, menunggu taksi di teras.
Nah, itu ada taksi yang melambatkan lajunya dan berhenti di depan kantor Kudo, bahkan masuk ke halaman parkir. Segera saya hampiri taksi itu.
Jendela taksi pun terbuka, nampak perempuan berambut sebahu tersenyum sambil bertanya… “Ibu Rinrin yang tadi pesan taksi ya?“
Wah. Sopir taksinya perempuan! Saya yang sudah masuk lewat pintu belakang, akhirnya minta pindah ke kursi depan. Pengen ngobrol banyak. Biasanya sih sama sopir taksi lain juga saya sering ngobrol, tapi baru kali ini saya naik taksi yang disopiri perempuan.
Perempuan ini bernama Bu Titin, asli orang Bandung. Sudah menjalani profesi menjadi sopir taksi selama 9 bulan.
Dari obrolan saya dengan beberapa sopir taksi, saya tahu kalau jam kerja sopir taksi itu hampir full 24 jam sehari. Dalam satu minggu tentu saja ada hari liburnya. Penasaran, saya tanyakan juga ke Bu Titin, apakah jam kerjanya sama dengan sopir taksi lain yang kebanyakan laki-laki?
“Dua satu, bu. Dua hari saya kerja, satu hari libur. Mulai kerja jam 6 sampai jam 12 malam“, jelas Bu Titin.
“Mmmm… punten, punya anak, Bu?”, tanya saya.
“Dua, Bu. Yang satu perempuan kelas 2 SMA, satu lagi laki-laki kelas 6″, jawab Bu Titin dengan ramah.
“Wah, udah gede-gede ya. Udah bisa ditinggal”, ujar saya.
“Iya, kalau saya kerja, saya nginep di rumah orang tua di belakang Pasar Cikutra. Pulang ke rumah ngumpul sama anak-anak kalau libur aja”, kata Bu Titin.
Lho, koq? Ngumpul sama anak-anak kalau libur?
Bu Titin kemudian bercerita kalau beliau ambil rumah di Ciseke, Jatinangor melalui KPR yang paling murah cicilannya. Tiap dua hari sekali anak-anak bu Titin ini ditinggal, berdua saja.
“Untungnya yang besar sudah pintar masak, Bu. Alhamdulillah. Kalau pas saya tinggal yang besar ini masak nasi satu cangkir kecil yang buat magic com itu lho, Bu. Cukup buat makan berdua sama adiknya. Kalau kurang ya masak lagi. Biar gak ada yang kebuang katanya”, Bu Titin bercerita sambil memperhatikan jalanan yang agak macet.
Kemana suami Ibu Titin? Ah, saya gak berani menanyakan ini.
“Tetangga juga alhamdulillah, Bu. Baik-baik. Anak-anak suka dikasih makanan”, Bu Titin tersenyum.
Ibu Titin kemudian menanyakan di mana saya dulu sekolah, dan angkatan berapa.
“Siapa tau seangkatan, Bu”, kata Bu Titin.
Ternyata saya hanya terpaut 2 tahun angkatan saja dengan Ibu Titin yang keluar SMA di tahun 2000. Sepertinya umur kami juga memang tidak terlalu jauh berbeda. Tapi yang jelas semangat Ibu Titin sangat jauh dibandingkan dengan saya.
Sayangnya, obrolan saya dengan Ibu Titin tak berlangsung lama. Maklum saja, dari Setiabudi ke Setrasari memang cukup dekat. Berat hati saya membayar ongkos, inginnya sih masih terus ngobrol sama Ibu Titin. Apalagi cara Ibu Titin mengendarai taksi juga sangat apik.
15 menit bersama Ibu Titin mengingatkan saya pada sebuah kutipan dari buku Prie GS, bahwa hidup ini keras, maka gebuklah!
Bekerja dari jam 6 sampai jam 12 dalam keadaan harus berjauhan dengan anak yang ditinggal berdua saja, mencicil rumah, menyekolahkan anak-anak, dan kesederhanaan yang ditunjukkan anak Ibu Titin dengan masak secukupnya… ah, iya bu. Hidup ini memang keras. Tetap semangat ya, Bu!