“Suka dukanya jadi kader, banyak… Kadang saya harus keliling kampung biar bisa dapet suspek TB”, ujar Ibu Euis ketika menjawab pertanyaan dari peserta Workshop #SahabatJKN #LawanTB di Bandung 3-5 Maret 2015 kemarin.
Ibu Euis adalah kader TB di kawasan Cimahi. Diantara pasien TB yang didampingi Ibu Euis adalah anak-anak yang duduk semeja dengan saya, Bima dan Sofi.
Ibu Euis sangat mengenal kehidupan sehari-hari pasien TB yang didampinginya. Ketika bercerita tentang Bima misalnya, saya malah sempat mengira kalau Ibu Euis ini Neneknya Bima.
Perjuangan Ibu Euis tidak berhenti sampai mencari suspek TB. Ketika suspek TB sudah berhasil ditemukan, Ibu Euis harus berjuang membujuk mereka agar mau berobat sampai tuntas.
“Pernah ada yang menolak berobat, bu?”, tanya saya.
“Alhamdulillah, tidak. Semua mau berobat karena tahu bahayanya”, jawab Ibu Euis.
Tentunya tidak semua suspek TB mudah diajak berobat. Tapi berkat penjelasan Ibu Euis, akhirnya suspek TB mau memahami bahaya TB jika tidak diobati.
Sambil menahan haru, Teh Ayu, peserta Workshop yang juga duduk semeja dengan saya dan Ibu Euis berujar, “Ibu Euis dan kader-kader TB ini adalah orang yang berhati mulia!”.
Pengorbanan Ibu Euis sebagai kader TB tidak bisa dianggap sepele. Di tengah keterbatasan tenaga kesehatan memberantas TB, peran kader TB seperti Ibu Euis ini jelas sangat membantu. Tidak ada balasan yang Ibu Euis harapkan. Ibu Euis hanya ingin pasien TB benar-benar berobat sampai tuntas, agar tidak menular ke orang-orang di sekitarnya.
TB memang bukan hanya masalah kesehatan, tapi juga berdampak pada banyak hal lain. Salah satunya masalah ekonomi dan juga kehidupan sosial.
Seringkali pasien TB tidak mau berobat karena tidak memiliki biaya untuk memeriksakan diri dan berobat ke layanan kesehatan. Tak heran jika kemudian TB mudah menular dengan cepat. Jika ada 1 orang penderita TB di rumah dan tidak diobati, bukan tidak mungkin seisi rumah bisa tertular.
Untuk pemeriksaan awal, Ibu Euis membawakan pot dahak dari Puskesmas ke rumah suspek TB. Pot itu kemudian dibawa Ibu Euis ke Puskesmas untuk diperiksa. Ketika hasil pemeriksaan menunjukkan dahak suspek TB BTA+, beliau juga yang membawa suspek TB itu ke Puskesmas.
Seakan memahami apa yang terlintas di benak saya, Ibu Euis kemudian melanjutkan perbincangan,
“Kadang ada yang kesulitan pergi ke Puskesmas, ya daripada mereka tidak berobat, biar sama saya dikasih ongkos”.
Prioritas utama Ibu Euis sebagai kader TB adalah menemukan suspek TB sedini mungkin, agar pasien dapat diobati sampai sembuh sebelum menularkan TB kepada orang lain.
Teh Ayu memang benar… Ibu Euis, dan juga kader-kader TB lain, orang-orang yang berhati mulia.
benar sekali TB itu harus dilawan, tapi nggak semudah kita membalikkan telapak tangan ya…
wuihh berjiwa besar banget ibu Euis, gak perduli segimana jauhnya, yang penting pasiennya sembuh. Kereeennnn
Pastinya ibu Euis meluangkan banyak waktu agi seluruh pasien di lingkungannya. Sebagai kader, bu Euis rela berjalan jauh agar pasiennya sembuh. Semoga makin banyak orang yang sadar akan TB dan mau berupaya meminimalisir TB ya mba..