[BelajarHidroponik] Akhirnya jadi juga…

By | January 21, 2017

[BelajarHidroponik] Akhirnya jadi juga… – Sebenarnya sudah bertahun-tahun saya berniat menanam sayuran secara hidroponik. Tapi ya, begitulah… susah sekali mewujudkan niat itu jadi kenyataan. Jangankan menanam yang mulai dari persiapan, penyemaian, sampai waktunya produksi nanti perlu kesabaran, nyuci yang tinggal masukin ke mesin cuci aja kadang cuma sampe niat hahaha. Cuma tiduran alias ngagoler aja sih yang gak pakai niat tapi tetap lancar jaya.

Beberapa tahun yang lalu, saya sempat mencoba bertanam dengan memanfaatkan aliran air kolam. Saat itu saya menanam daun bawang dan cengek. Benihnya berasal dari dapur sendiri. Tiap kali beli daun bawang di pasar, bagian akarnya saya tanam di wadah plastik. Cabai yang busuk, bijinya saya tebar juga di dalam wadah plastik.

Daun bawang sempat 2-3 kali panen. Tiap kali perlu daun bawang, saya hanya tinggal memotongnya dari pot di kolam.

Cengek? Setelah ditunggu 3 bulan ternyata bukan pohon cengek yang tumbuh besar, melainkan hama. Entah tanaman apa. Jadilah saya pundung. Malas bercocok tanam, apa pun jenis dan caranya. Lagian, bercocok tanamnya kemarin emang gak pake ilmu sih… ilmu kumaha aing saja yang dipake haha.

Lain saya, lain pula dengan kakak saya.

Pada dasarnya beliau memang patani. Bertahun-tahun belajar ilmu pertanian, sempat magang jadi tukang pupuk, sampai akhirnya nyasar kerja di sebuah bank.

Sewaktu masih bekerja di Jakarta, kakak saya mulai mengumpulkan plastik bekas air mineral tiap kali selesai meeting. Plastik bekas ini kemudian dibawa tiap akhir pekan ke Bandung, bersama dengan cucian selama satu minggu, pakai travel. Cucian 1 tas, “sampah” 2 tas besar, semua dibawa pulang ke rumah Nene.

Nene sih kadang menggerutu, rumahnya jadi penuh dengan plastik bekas. Mana jarang dirapihkan, jadi cuma ditumpuk di ruangan bekas warung begitu saja.

Sampai akhirnya kakak memulai juga proyek hidroponik yang sudah lama direncanakan, tentu saja proyeknya di rumah Nene. Padahal beliau pulang ke Bandung hanya seminggu sekali. Saat itu beliau memang masih anggota PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad).

Lalu kalau kakak pulang Jumat, pergi lagi di hari Ahad, bagaimana dengan tanaman hidroponiknya? Ya sudah pasti Nene kembali menggerutu, soalnya dari Senin – Jumat, semuanya jadi tanggung jawab Nene. Kadang ada tanaman yang kekeringan karena Nene lupa menyiram/menyemprot rockwool. Yang ini wajib dimaklum, soalnya Nene sibuk bolak balik rumah sakit. Seminggu saja hampir 2-3 kali kontrol ke rumah sakit.

Sekarang kakak saya sudah pindah dinas ke Bandung. Beliau jadi bisa lebih fokus mengurus tanaman hidroponiknya. Malah sudah berkali-kali panen. Hasil panennya ada yang dibagi-bagi ke tetangga, ada juga yang dijual.

Mudik terakhir kemarin, ada pakchoy yang sudah siap panen. Nene bilang lumayan, dijual 1500-an ke ibu-ibu yang suka belanja di pasar mini depan rumah.

Pakchoy… kata Nene, 1500-an wkwkwkwk

O ya, tiap pagi mulai dari jam 6 sampai jam 10 ada tukang sayur yang menumpang jualan di halaman rumah Nene. Tiap pagi di depan rumah penuh sama ibu-ibu. Seru. Suasananya jadi mirip pasar mini. Beberapa hari ini ada juga franchise ayam goreng yang ikut jualan sejak pagi sampai sore di halaman depan rumah Nene. Jadi makin rame!

Sementara balkon atas juga dipenuhi tanaman hidroponik yang siap panen.

Si kembar, Nou-Dez lagi panen

Nah, saya pun akhirnya luluh. Melihat pakchoy, selada, caisim yang sudah hijau-hijau, terong, paria, cabe, semua ada di rumah Nene, jelas saya kabita.

Panen cabeeee...

Panen cabeeee…

Saya, yang tadinya pundung gak mau bertanam apapun, jadi tergerak mengikuti jejak kakak. Apalagi ada lahan kosong di halaman depan rumah saya. Terutama bagian bekas kolam yang sepertinya tidak akan digunakan jadi kolam lagi. Kacanya pecah. Sayang kalau tidak dimanfaatkan. Daripada harus mengganti kaca kolam, lebih baik dipasangi paralon saja. Begitu pikir saya…

Keinginan ini pun langsung saya utarakan ke suami.

Tapi suami belum yakin kalau saya bisa konsisten belajar menanam hidroponik. Iya, suami memang tahu betul karakter saya.

Makanya ketika saya meminta suami merakit paralon untuk bertanam secara hidroponik, suami cuma nyengir dan meminta saya mencoba skala kecil dulu.

Baiklah… namanya juga belajar, kalau sekaligus bikin skala besar, pas gagal panen nanti ruginya dobel. Ya materi, ya perasaan. Dan rugi perasaan ini yang gak bisa tergantikan haha. Tapi meski sekarang coba skala kecil, mudah-mudahan sih gak pake gagal panen. Kuy lah! Bismillah…

Semangat!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *