Anti Korupsi Sejak Dini

By | December 5, 2014

“Mamah, koq uang Ceuceu jadi begini?”, tanya Ceuceu si Sulung, ketika menghitung uang angpau lebarannya yang disimpan di dalam amplop.

Di amplopnya, ada beberapa lembar sepuluh ribuan, dan saya menukar lima lembar diantaranya dengan satu lembar pecahan Rp . 50.000,-.

“O, iya. Tadi Mamah tuker, mau bayar iuran sampah tapi Mamah gak ada uang receh. Maaf ya Mamah gak bilang dulu. Tadi kan Ceuceu masih di sekolah”, saya pun menjelaskan alasan kenapa tadi saya menukar uang angpau Ceuceu tanpa meminta ijin terlebih dahulu.

Uang angpau ini Ceuceu peroleh saat berkunjung ke rumah Nenek dan uwa-uwanya lebaran kemarin. Teteh dan Ade juga mendapatkan angpau yang sama. Kalau Ceuceu menyimpan angpaunya untuk buku Gober, Teteh menyimpan angpaunya untuk sepatu roda. Ade? Ade sih belum tahu mau apa. Tapi bukan berarti uang angpaunya bebas saya pakai lho! Soalnya Ceuceu dan Teteh punya catatannya.

Ceuceu memang apik menjaga uang dan juga barang miliknya sendiri. Bukan hanya Ceuceu, tapi juga Teteh, si Tengah. Bahkan Ade, si Bungsu yang baru berusia 3 tahun pun sudah tahu kalau barang miliknya atau milik kakak-kakaknya hanya boleh dipakai atas sepengetahuan pemiliknya.

Misalnya ketika baju milik Teteh sudah terlalu kecil, kemudian baju itu dihibahkan untuk Ade, Ade lantas bertanya…

Mah, ini kan baju Teteh? Emang boleh Ade pake?“, tanya Ade dengan suara khas anak kecilnya.

Kalaupun saya bilang boleh, Ade tidak serta merta percaya begitu saja. Ade pun mencari Teteh dan menanyakan hal yang sama.

Boleh de, itu udah kekecilan di Teteh. Buat Ade aja!“, jawab Teteh mengiyakan pertanyaan Ade.

Soal barang, boleh jadi Ade sudah mulai mengerti bagaimana aturan pinjam meminjam seharusnya. Tapi kalau soal uang, Ade belum mengerti. Yang mengerti soal uang adalah kedua kakaknya yang sudah belajar berhitung dan mengenal uang. Bukan hanya tabungan di rumah, tapi juga tabungan di bank. Anak-anak memang memiliki tabungan atas nama sendiri yang diisi khusus oleh bapaknya.

Mereka seringkali meminta saya memperlihatkan jumlah saldo yang ada di tabungannya. Dan hebatnya, mereka bisa dengan mudah mengingat berapa jumlah uang di tabungan masing-masing.

Tak heran ketika saya terpaksa menggunakan uang milik anak-anak termasuk milik Ade, sebisa mungkin saya segera menggantinya sesuai dengan jumlah yang saya pakai. Kalau tidak, bisa bahaya! Ada polisi nya!!!

Membiasakan Anti Korupsi Sejak Dini

Yang menumbuhkan kejahatan korupsi seringkali adalah ketidakpedulian kita sendiri

(Bess Myerson)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi “korupsi” adalah :

ko·rup·si n penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain;
— waktu cak penggunaan waktu dinas (bekerja) untuk urusan pribadi;

me·ngo·rup·si v menyelewengkan atau menggelapkan (uang dsb)Korupsi berawal dari kebiasaan. Menurut beberapa penelitian, kebiasaan buruk, terutama pada anak-anak bisa diubah

“Korupsi” berasal dari bahasa Inggris, corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah “korupsi” juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya.

Secara hukum pengertian “korupsi” adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Masih banyak lagi pengertian-pengertian lain tentang korupsi baik menurut pakar atau lembaga yang kompeten. Belakangan pengertian “korupsi” lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau golongan. (Sumber: Universitas Terbuka)

Korupsi, seperti juga banyak hal lain, berawal dari kebiasaan. Awalnya bisa jadi tidak sengaja, sekedar mencoba korupsi kecil-kecilan. Tapi karena tidak ketahuan juga tidak mendapatkan hukuman apa-apa, akhirnya korupsi menjadi kebiasaan. Selanjutnya bisa ditebak, bukan hanya korupsi kecil-kecilan, tapi sampai skala besar.

Di sinilah peran penting orang tua, sebagai pendidik pertama untuk menanamkan kebiasaan perilaku anti korupsi kepada anak-anak.

Untuk menjadikan perilaku anti korupsi sebagai kebiasaan pada anak-anak memang dibutuhkan kesabaran dan pendekatan yang kreatif dari para orangtua, selain itu orang tua juga harus konsisten saat menerapkan contoh dan aturan perilaku anti korupsi kepada anak.

Anak dan Anti Korupsi, Sumber gambar : Tunas Blogger

Semakin sering anak melakukan kegiatan tersebut, semakin anak lebih mudah hafal dan menikmati. Diharapkan ‘perilaku’ pun terbentuk secara permanen menjadi suatu kebiasaan.

Penerapan “Behaviour Change” dalam mengajarkan anti korupsi sejak dini ini saya mulai dengan membiasakan anak-anak memakai barang miliknya sendiri-sendiri dan mengembalikan segala sesuatu yang sudah dipakai di tempat semula. Jika perlu memakai barang milik orang lain tentu harus atas sepengetahuan pemiliknya. Sebaiknya memang kita meminta ijin kepada pemilik sebelum barangnya kita pinjam. Bukan seperti saya yang menukar uang angpau Ceuceu tanpa sepengetahuan Ceuceu dan baru diketahui Ceuceu ketika dia menghitung jumlah tabungannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak tentunya memiliki kehidupan sosial bermain bersama teman-temannya. Ketika bermain bersama teman-temannya, Ceuceu dan Teteh tidak akan mau menyentuh mainan di rumah temannya sebelum dipersilahkan oleh pemiliknya.

Ada konsekuensi yang diterapkan jika barang yang dipinjam tersebut rusak. Anak-anak harus menggantinya sendiri. Caranya? Menabung.

Begitu juga ketika teman-temannya bermain di rumah. Ceuceu mengajari teman-temannya untuk meminta ijin terlebih dahulu kepada saya sebelum mereka bermain laptop bersama-sama.

Sebagai orang tua, tentu saja kita menginginkan anak-anak terhindar dari perilaku korupsi. Tapi keinginan orang tua ini juga harus dibarengi dengan memberi contoh yang baik.

Misalnya, ketika kenaikan kelas di sekolah Ceuceu tiba, seperti juga tradisi di sekolah lain, beberapa orang tua siswa sibuk mempersiapkan hadiah untuk guru kelas maisng-masing. Alih-alih memberikah hadiah secara pribadi, ada orang tua siswa yang berinisiatif menggalang dana dari para orang tua yang lain. Hasil penggalangan dana itu digunakan untuk dibelikan fasilitas sekolah yang bisa digunakan bersama-sama, bukan untuk perorangan. Kebiasaan kecil seperti ini bisa membuat guru tidak terbebani untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tanggung jawabnya, misalnya menaikkan nilai, memberi perlakuan berbeda/istimewa kepada siswa yang memberi hadiah secara pribadi.

Saat Ceuceu bertanya, kenapa saya tidak memberi hadiah untuk gurunya seperti orang lain, saya pun cukup menjawab, sudah ada aturannya dilarang memberi hadiah untuk guru.

Atau ketika Ceuceu ikut mengantar saya membuat SIM A. Meski harus bolak balik berkali-kali ke kantor polisi, tapi saya tetap mengikuti prosedur yang legal. Di kesempatan pertama, saya lulus ujian kesehatan tapi tidak lulus ujian teori apalagi praktek. Ujian berikutnya lulus ujian teori, tapi tidak lulus ujian praktek. Di kesempatan berikutnya saya dan Ceuceu datang ke kantor polisi hanya ujian praktek dan tetap tidak lulus. Beruntung di kesempatan keempat saya berhasil melalui ujian praktek.

Dengan bangganya saya ikut mengantri untuk difoto bersama orang-orang yang juga akan membuat SIM. Bedanya, beberapa diantara mereka berhasil lulus ujian teori dan praktek tanpa mengerjakan soal ujiannya, apalagi sampai maju, mundur dan belok tanpa menjatuhkan plang.

Saat Ceuceu bertanya, kenapa saya harus berkali-kali datang ke kantor polisi, saya cukup menjawab bahwa saya memang belum layak mendapat SIM A, karenanya saya belum boleh mengendarai mobil sendiri.

Beberapa hari ini jajaran kepolisian rutin mengadakan operasi Zebra. Saya yang sudah mengantongi SIM A bisa dengan tenang mengendarai mobil di jalanan. Tak lupa sabuk pengaman.

Saat Ceuceu menyaksikan mobil kami diminta berhenti oleh polisi, Ceuceu bertanya lagi…

“Koq gak diapa-apain, Mah? Itu kenapa ada motor yang diangkut ke atas mobil polisi?”

“Oh, mungkin oom yang pake motornya lupa bawa surat-suratan. Kalau Mamah kan SIM ada, STNK ada, sabuk pake, Mamah juga tidak melanggar aturan lalu lintas, kenapa harus diapa-apain?”, jawab saya.

Dari kejadian yang kami alami ini, Ceuceu sudah menyaksikan sendiri konsekuensi logis dari mentaati dan juga melanggar aturan.

Indonesia Bebas Korupsi Bukan Sekedar Mimpi

Mewujudkan Indonesia Bebas Korupsi memang perlu tekad dan usaha yang sungguh-sungguh. Mulai dari yang terkecil, mulai dari diri sendiri.

  • Di lingkungan rumah menerapkan aturan yang harus ditaati seluruh anggota keluarga. Selain di lingkungan keluarga, menanamkan kebiasaan perilaku anti korupsi juga harus dilakukan di lingkup yang lebih luas. Di sekitar rumah, sekolah, kantor.
  • Menerapkan pendidikan karakter  yang berakhlak mulia, berkualitas serta menanamkan kejujuran yang dilakukan mulai dari sekolah tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
  • Perlu juga dilakukan sosialisasi gerakan anti korupsi ke sekolah-sekolah atau institusi pemerintahan mulai dari desa sampai ke pusat.
  • Membiasakan yang benar, bukan membenarkan kebiasaan. Salah satunya adalah dengan tidak memberikan tips/upah atas setiap pekerjaan yang dilakukan dalam pelayanan publik.
  • Indonesia Bebas Korupsi juga bisa diwujudkan dengan menciptakan sistem transparansi nasional yang melibatkan warga masyarakat untuk melakukan pengawasan.

Anis Baswedan, Menteri Pendidikan, mengatakan bahwa masyarakat sekarang ini hampir semuanya memiliki HP. Dengan transparansi nasional, maka semua warga masyarakat dengan bebas untuk dapat melakukan pengawasan dengan menggunakan HP-nya, dan dengan HP-nya masyarakat dapat melaporkan kepada petugas pengawasan, petugas hukum, termasuk KPK. Kita juga bisa memaksimalkan peran media sosial sebagai alat pengawasan oleh warga.

  • Sementara bagi yang melakukan tindakan korupsi, tentu saja perlu dikenakan hukum yang berat dan tegas tanpa kecuali. Tidak memandang besar kecilnya korupsi atau tinggi rendahnya jabatan pelaku korupsi. Sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi.

Ketika perilaku anti korupsi sudah menjadi kebiasaan, bukan tidak mungkin Indonesia Bebas Korupsi bisa terwujud.

 Tulisan ini diikutsertakan pada Lomba Mewujudkan Mimpi Indonesia Bebas Korupsi

11 thoughts on “Anti Korupsi Sejak Dini

  1. Rodame MN

    wah udah beres aja mak rin, mantap…saya baru mau publish hehe… good luck ya mak

    Reply
  2. Mang Yono

    Wajib ditiru nih, saya kasih jempol deh buat keluarganya Mak bloger yang satu ini, kalau keluarga belum bisa begini mak, Si Kaka punya makanan direbut sama si dedek, si saya sedang ngeblog leptopnya di guyur sama si dedek 🙂

    Reply
  3. evrinasp

    adek2, om tante, bapak ibu jangan korupsi ya, ngeri lho, dampaknya gak hanya menimpa yg melakukan, tapi orang2 yg ada didekatnya

    Reply
  4. Tia Yusnita

    Wah ilmu baru buat aku yang masih single hehe 😀 Berarti bisa jadi para koruptor itu kebiasaan sejak kecil nya kurang baik ya Mak.. Good luck lombanya Mak..

    Reply
  5. ardhean

    sebenarnya korupsi itu terjadi karena ada kesempatan. Dan sayangnya kesempatan itu selalu ada. Tinggal bagaimana individu yang bersangkutan menyikapi kesempatan tersebut. diperlukan iman yang kuat dan mindset yang baik agar individu yang berangkutan mampu menolak kesempatan yang ada. Menurutku pas banget opini dan cara yang dilakukan oleh mbak Orin ini dalam membentuk mindset putri-putrinya. Sukses ya mbak. Good luck untuk lombanya.. Salam…

    Reply
  6. Lusi

    Insya Allah ya mak, didikan kita membekas pada anak2 sampai nanti setelah kita tak bisa membimbingnya nanti. Aamiin :))

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *