Cerita Yang Tersisa dari AJA (Part 1)

By | October 28, 2014

Ketika saya membaca postingan Grace Melia (Mami Ubii) di KEB yang menanyakan apakah ada Emak Blogger yang mendapat pemberitahuan nominasi Anugerah Jurnalistik AQUA IV, saya masih cuek.

“Ah, ke saya gak ada email nih,” begitu pikir saya.

Saya pun teringat proses membuat tulisan untuk lomba ini. Beberapa minggu sebelum deadline, saya banyak membaca berita kekeringan di daerah Subang Selatan. Saya pikir ini kesempatan bagus untuk dijadikan bahan tulisan. Tapi seperti biasa, saya kebingungan membuat prolog. Ya sudah, berita-beritanya dibookmark saja dulu.

Kemudian saya juga membaca berita tentang program CSR AQUA di daerah Ciater, di mana warga di sekitar Ciater yang memiliki banyak sumber mata air melimpah, malah kekurangan air bersih karena ketiadaan saluran dari sumber mata air ke rumah warga. AQUA melalui program WASH membantu warga di Ciater agar mendapatkan akses menuju air yang bersih dan sehat. Nah ini bagus nih, inginnya sih saya blusukan ke Ciater atau ke Cisalak, tempat di mana AQUA sudah melaksanakan program WASH ini. Meliput hasil CSR AQUA di sana pastinya bakal jadi tulisan yang (menurut saya) bagus.

Duh, tapi rasanya masih kurang jos tuh idenya. Masa gitu doank? Sambil membaca postingan peserta lain dan juga pemenang lomba AJA tahun sebelumnya, saya tanya teman saya, Rina, apakah Rina ikut lomba AJA yang sekarang?

Ternyata Rina bilang tidak, soalnya idenya mainstream katanya. Kalau ada kesempatan, tadinya Rina mau membahas pengolahan air di desa-desa. Sayang Rina tinggalnya di Ciputat, jauh dari desa hehehe

Atas saran dari Rina, keinginan saya untuk blusukan ke Ciater atau Cisalak semakin menguat. Sayangnya meski dekat dengan tempat saya tinggal sekarang, saya tidak sempat ke sana.

Ah, saya jadi ingat kalau desa saya juga memiliki banyak sumber mata air seperti di Ciater. Dan meski banyak sumber mata air, warga desa saya juga masih ada yang harus berjalan berkilo-kilo meter menuju pemandian umum untuk beraktivitas seperti mencuci, mandi, cuci piring dan juga membawa air bersih dari sumber mata air ini ke rumahnya. Jalannya cukup bikin ngos-ngosan, selain jauh dari pemukiman, tanjakannya juga lumayan terjal.

Sampai akhirnya waktu deadline tiba, belum ada satu paragraf pun yang saya tulis. Lalu bagaimana dengan referensi pengolahan air seperti yang Rina sarankan? Aduh, ini sih alamat tidak jadi ikut lomba.

Nah, kalau saya tidak kunjung mendapatkan sumber referensi seperti yang Rina sarankan, kenapa tidak saya manfaatkan saja lomba ini untuk membuat semacam proposal ya? “Proposal” agar AQUA juga membuat program WASH di desa saya. Soalnya saluran dari sumber mata air ke rumah warga ini pernah jadi wacana, hanya saja terkendala dana. Tapi meski sudah cukup sering bermain ke sumber mata air yang dimaksud, saya belum punya fotonya. Padahal untuk membuat “proposal” seperti ini tentunya perlu foto-foto pendukung.

Tepat di hari deadline, pagi-pagi sekali saya meminta ijin kepada suami, mau blusukan sama anak-anak ke sumber mata air yang ada di desa saya. Tidak tanggung-tanggung, 3 mata air yang berjauhan sekaligus, jalan kaki ramai-ramai. Koq anak-anak mau diajak blusukan begini? Berenang di sumber mata air terakhir imbalannya ahahaha

Alhamdulillah, diijinkan. Setelah pekerjaan di rumah selesai, kami pun berangkat jam 11 dan pulang ke rumah jam 5 sore dalam keadaan sangat capai. Bayangkan saja, jalan kaki sekitar 10 kilometer pulang pergi, sambil menggendong si bungsu, jalannya naik turun pula. Beruntung Ceuceu dan Teteh tetap semangat mengantar emaknya sampai selesai.

Setelah urusan makan anak-anak selesai, tanpa sempat mandi saya segera duduk di depan laptop. Halaman yang tadinya kosong perlahan mulai diisi huruf demi huruf, sampai jadilah tulisan saya yang ini beberapa menit sebelum waktu pendaftaran tutup.

Tulis, daftar, lupakan. Tak kunjung ada pengumuman, kecuali pengumuman pemenang yang mengikuti kegiatan offline Ngablogburit ke Pabrik AQUA, membuat saya semakin melupakan lomba ini. Ah, sudahlah… dibaca juri saja sudah lumayan, mudah-mudahan AQUA juga ikut baca.

Saya tidak mau berharap banyak, karena tulisan blogger lain sudah jelas jauh lebih bagus. Hanya saja saya menaruh harapan besar agar tulisan saya dilirik AQUA, tidak lain dan tidak bukan, siapa tahu warga di desa saya juga bisa mendapatkan bantuan seperti warga desa di Ciater dan Cisalak.

Sampai akhirnya siang itu Mami Ubii membuat postingan di KEB, dan ya… saya semakin hopeless karena tidak mendapatkan notifikasi email baru. Menjelang sore, barulah saya cek akun email saya yang lain, dan ternyata ada email berlabel kuning (high priority), dengan nama pengirim lombaaja4. Aduduh… saya lupa, daftar lombanya pakai email yang ini bukan yang itu. Pantas saja tidak ada notifikasi email baru 😀

7 thoughts on “Cerita Yang Tersisa dari AJA (Part 1)

  1. gelang etnik harga terjangkau

    salut sama perjuangannya demi desa untuk AQUA membuat program WASH ^_^

    Reply
  2. desi

    saluuuttt abiisss ama emak yg satu ini, niat yg mulia memang allah yg balas ya mak, niat blusukannya itu loch. bungkuk sama suhu deh.

    besok2 jgn lupa email yg mana yg daftar ya mak, ditunggu part2 ya mak 🙂

    Reply
  3. fanni rachdianni

    Untung we lupa mandi nya rin… 😀
    bnr2 lucky last minutes.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *