Timeline media sosial beberapa hari ini kelihatannya memanas. Maklum saja lah ya. Pilkada tinggal hitungan hari. Iya, Pilkada DKI sih yang membuat suasana timeline terasa panas. Pilkada lain mah meski ada gesekan, tapi gak sepanas Pilkada DKI. Khusus Pilkada DKI Jakarta ini sepertinya semua orang ikut berkomentar, gak cuma pemilih ber-KTP DKI Jakarta saja. Gak jarang ada juga yang ikut menyebar berita hoax dan membuat suasana semakin panas. Masih banyak orang yang gak sadar kalo berita hoax itu biasanya berawal dari postingan di media sosial atau blog-blog yang malah gak jelas siapa pemiliknya. Kalau saya mah, demi menghindari hoax lebih baik baca berita yang pasti-pasti saja, misalnya tentang cagub Pilkada DKI 2017 di Sindonews.
Hati-hati, ikut menyebar berita hoax bisa dianggap melanggar Pasal 28 dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Di dalam pasal 28 UU ITE ini disebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.
Nah, lho!
Tapi yang lebih menyeramkan sih, adanya peperangan antar teman hanya gara-gara beda pilihan, itu pun yang dibaca teh cuma hoax. Ini menyedihkan.
Di tengah memanasnya timeline, kemarin saya mendapat pesan dari seorang teman yang katanya mau minta tolong. Tumben sih, jarang-jarang ada yang minta tolong ke saya. Menurut cerita teman saya, adiknya jadi korban penipuan jual beli online. Jadi, adiknya ini beli hp lewat penjual di BBM. Hp-nya seharga 3.5 jutaan. Tapi sampai sekarang barangnya gak kunjung datang. Padahal adik teman saya sudah transfer uang sebanyak 11.5 juta. Akun BBM adik teman saya dihapus dari kontak si pelaku. Sayangnya, tidak ada bukti apapun karena adik teman saya tidak sempat meng-capture percakapan dengan si pelaku. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Inginnya sih saya berkomentar, koq bisa sih, hari gini masih saja tertipu belanja online. Tapi gak jadi. Karena memang masih banyak yang awam soal transaksi jual beli online seperti ini.
Beberapa bulan yang lalu, seorang tetangga juga mengalami hal yang sama. Tertipu sebuah lapak online di Facebook. Setelah tetangga transfer sebesar 5,5 juta, kamera yang diinginkannya tak kunjung datang. Akun Facebook teman saya diblokir.
Pernah juga ketika sedang mengantri di ATM, saya mendapati seorang ibu yang sepertinya akan transfer ke seorang penipu. Modusnya dapat undian dari operator sebuah telepon. Saya sendiri sudah berkali-kali mendapat telepon yang sama dan berakhir dengan tertawa bersama Teteh dan Ceuceu karena sukses mengerjai balik si penipu. Saya pun mengingatkan baik-baik, agar ibu ini berhati-hati. Alih-alih mengikuti saran saya, si ibu malah marah-marah dan meninggalkan ATM, pindah ke ATM lain. Ya sudah lah… gimana ibu saja, karena perempuan mah selalu benar haha
Sebenarnya berita hoax maupun penipuan belanja online memiliki ciri-ciri utama yang sama, yaitu Too good too be true. Bisa jadi terlalu sempurna, atau bahkan terlalu mengerikan. Gak jarang beritanya juga dibumbui istilah ilmiah. Ditambah beberapa foto yang bisa jadi hanya editan, berita menjadi lebih dipercaya.
Pada kasus belanja online, biasanya harga barang yang terlalu murah disertai dengan beribu alasan. Misalnya harga barang menjadi 1/3 harga aslinya dengan alasan barang yang dijual adalah barang ilegal (blackmarket). Baca dengan cermat dan menyeluruh setiap kata dan kalimat yang disusun. Tandai kejanggalan yang ditemukan, dan cari tahu lebih banyak informasi yang diberikan.
Ciri-ciri lainnya, baik berita hoax maupun penipuan online seringkali mencantumkan organisasi besar atau nama seseorang lengkap dengan gelar dan jabatannya. Padahal bisa jadi orang tersebut fiktif. Atau orangnya memang ada, tapi sama sekali gak ada urusannya dengan berita atau penipuan belanja online. Semacam kalau ditilang polisi bawa-bawa nama Jendral haha.
Nah, ini yang terjadi pada adik teman saya yang tertipu belanja online sampai 11,5 juta tadi. Saya melihat bukti-bukti berupa tanda pengenal seseorang yang memiliki jabatan di sebuah dinas. Hanya saja ketika saya melihat bukti transfernya, ternyata adik teman saya transfer ke pemilik rekening yang berbeda dengan yang ada di tanda pengenal yang diberikan.
Dari dua ciri-ciri itu saja sebenarnya sudah bisa dibedakan koq, mana yang asli dan mana yang hoax atau penipuan. Tinggal pintar-pintarnya kita aja memilih dan memilah mana berita yang benar-benar layak dipercaya. Kalaupun ada teman yang beda pendapat dan pilihan, gak usahlah sampai musuhan. Ingat-ingatlah pepatah, musuh satu itu lebih banyak dari teman seribu…