Ini adalah tulisan saya mengenai TB yang ke delapan. Tulisan ini sekaligus penutup serial tentang TB yang sudah saya mulai beberapa waktu lalu. Tapi tentu ini bukan akhir, ini hanyalah awal dari usaha saya turut serta menyebarluaskan informasi mengenai TB, penyakit penyebab kematian tertinggi kedua di Indonesia.
Siapa yang ingin terkena penyakit? Apalagi penyakit yang memiliki cap mengerikan, yaitu mematikan. Rasa-rasanya semua orang berkeinginan memiliki hidup yang sehat dan terbebas dari penyakit.
Begitu juga dengan pasien Tuberkulosis. Seumur hidupnya mungkin tidak pernah mengira akan terkena penyakit menular dan mematikan seperti TB ini.
Sebelum Revolusi Industri, cerita rakyat seringkali menghubungkan TB dengan vampir. Jika ada seorang anggota keluarga yang meninggal karena TB, kesehatan anggota keluarga yang lain perlahan-lahan menurun dan kemudian mengalami kematian. Masyarakat percaya bahwa orang pertama yang terkena TB akan menguras jiwa anggota keluarga lainnya.
Konon Hipocrates pun melarang murid-muridnya mengunjungi pasien “Phthisis” (sebutan TB Paru pada waktu itu) karena akan menurunkan kredibilitas tabib, sebabnya TB paru saat itu tidak dapat disembuhkan.
Stigma ini masih berkembang sampai sekarang. Banyak orang yang beranggapan bahwa Tuberkulosis ini merupakan penyakit kutukan dan tidak dapat disembuhkan. Tidak heran, jika kebanyakan pasien TB dianggap sebagai pembawa sial kemudian dikucilkan, dijauhi dan diasingkan dari lingkungan sekitar.
Selain itu ada pula beranggapan kalau TB itu merupakan penyakit “kiriman” atau karena diguna-guna. Sehingga pasien TB lebih memilih pergi ke dukun untuk mendapat “pengobatan” daripada memeriksakan diri ke layanan kesehatan.
Stigma negatif memang seringkali melekat pada masalah-masalah kesehatan, termasuk Tuberkulosis. Stigma yang berhubungan dengan penyakit dapat menyebabkan dampak negatif terhadap pencegahan, prosedur pelayanan, dan kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan pada penyakit tersebut (Cramm and Nieboer, 2011).
Munculnya stigma terhadap TB diantaranya karena penularan TB, pengetahuan yang kurang tepat akan penyebab TB, perawatan TB atau berhubungan dengan kelompok-kelompok marjinal seperti kemiskinan, ras minoritas, pekerja seks, tahanan penjara, dan orang yang terinfeksi HIV/AIDS ( Kipp et al, 2011).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anita S. Mathew dan Amol M. Takalkar tahun 2007 pada masyarakat India, ditemukan bahwa pasien TB di India sering mendapatkan pengalaman adanya penolakan dan isolasi sosial dari masyarakat.
Di samping itu, penelitian yang dilakukan oleh Tribowo Tuahta Ginting dkk (2008) di RS persahabatan, Jakarta, juga menunjukkan pasien yang mengalami penyakit Tuberkulosis tidak ingin orang lain mengetahui penyakitnya karena persepsi pasien terhadap kemungkinan perlakuan masyarakat bila mengetahui penyakit mereka.
Stigma pada penyakit tuberkulosis dapat menyebabkan keterlambatan pengobatan dan berdampak negatif terhadap kelangsungan berobat. Dampak negatif dalam kelangsungan berobat dapat menyebabkan terputusnya pengobatan pada pasien tuberkulosis yang bisa menyebabkan tidak tuntasnya pengobatan.
Pengobatan yang tidak tuntas dapat menyebabkan Multi Drugs Resistence (MDR-TB). Penelitian di Amerika Serikat menunjukan bahwa MDR-TB menyebabkan kematian yang lebih cepat. Sebanyak 70-90 % pasien meninggal hanya dalam waktu empat sampai dengan enam belas minggu.
Stigma/pandangan negatif yang muncul dimasyarakat mengenai penyakit Tuberkulosis dapat menimbulkan diskriminasi terhadap pasien tuberkulosis. Misalnya saja orang tua akan melarang anaknya bermain dengan anak yang menderita tuberkulosis. Sehingga orang tua penderita akan menyembunyikan status penyakit anaknya karena ditakutkan anaknya menjadi tidak mempunyai teman dan minder. Dampak yang lebih dikhawatirkan adalah orang tua tidak membawa anaknya pergi berobat karena takut orang lain mengetahui penyakit anaknya.
Atasan akan mengucilkan karyawannya yang terkena TB, lebih jauh lagi, mungkin saja karyawannya tersebut dipecat dengan alasan takut tertular TB.
Kekhawatiran mengenai terjadinya penularan penyakit TB memang merupakan salah satu faktor yang menimbulkan diskriminasi. TB memang sangat mudah menular melalui percikan dahak.
Stigma dan diskriminasi terhadap pasien TB ini tentu saja tidak menyelesaikan masalah dan hanya menjadikan pasien TB semakin enggan memeriksakan dan mengobati dirinya lebih lanjut. Karenanya diperlukan penyebaran informasi lebih luas mengenai TB , sehingga pasien TB mendapatkan penanganan lebih baik dan penyebaran TB dapat dikendalikan.
Stigma yang disematkan kepada pasien TB oleh masyarakat ini harus segera dihilangkan. Penyakit TB bisa menyerang siapa saja dari semua golongan tanpa memandang latar belakang penderita. TB mudah menular melalui percikan dahak dan memang penyakit yang mematikan, dengan catatan “jika tidak diobati dengan benar“.
Selain itu, meski dapat menular dengan cepat, TB bukanlah penyakit kutukan. TB dapat diobati dan penderitanya harus berobat. Jika pasien segera berobat saat merasakan gejala TB dan minum obat sesuai dengan dosis, maka TB bisa sembuh dan tidak menular ke orang lain.
Selama pasien TB menjalani pengobatan dengan rutin sampai tuntas, disertai dukungan dari keluarga dan masyarakat, pasien TB dapat sembuh dan penularan TB dapat dikendalikan.
Jadi mari kita hapuskan beragam stigma yang ada mengenai penyakit TB. Mari bantu pemerintah untuk mewujudkan program Indonesia Bebas TB.
Referensi tulisan :
1. www.tbindonesia.or.id
2. www.stoptbindonesia.org
3. www.globaltb.njms.rutgers.edu/tbfaq-tbdisease.htm
4. www.depkes.go.id