Anak-anak memang tidak dibiasakan jajan di luar. Apalagi jajanan yang digoreng. Kecuali saya yakin kalau pedagangnya memakai bahan dan minyak yang bersih.
Jajanan favorit saya dan anak-anak adalah cimol alias aci digemol. Jajanannya cukup bersih. Anak-anak tidak suka memakai bumbu macam-macam. Asal terasa asin alias hanya diberi garam juga pasti habis. Kalau saya biasanya ditambah bubuk cabe. Meskipun setelah makan cimol pedas ini saya bisa nangis guling-guling akibat maag yang saya derita cukup sensitif terhadap pedas tapi entahlah, susah jauh-jauh dari yang namanya pedas.
Koq saya bisa yakin kalo pedagang cimol ini memakai bahan dan minyak yang bersih? Minyaknya kan beli dari saya hehe
Satu kemasan minyak berukuran 2 liter biasanya habis dalam sehari. Besoknya bapak pedagang cimol sudah membeli minyak kemasan yang baru.
Kalau kebetulan saya sedang rajin, saya juga suka membuat bala-bala atau pisang goreng kesukaan Ceuceu. Cara ceuceu memakan pisang goreng ini cukup unik. Biasanya tepungnya dipisah dari pisangnya untuk dimakan belakangan. Save the best for last katanya…
Tapi itu jarang-jarang sih, soalnya kebanyakan malasnya. Kalau pedagang cimol bisa menghabiskan 2 L minyak sehari, sementara saya seminggu bisa habis sudah alhamdulillah.
Saat memasak biasanya saya enggan memakai minyak bekas. Kalaupun pakai minyak bekas, maksimal minyaknya dipakai 2x menggoreng. Kecuali kalau mau goreng asin. Goreng asin enaknya pakai minyak bekas hihi
Minyak jelantah yang sudah tidak saya pakai kemudian saya saring dan dinginkan untuk dimasukkan ke dalam botol minyak atau jerigen.
Nanti kalau sudah penuh biasanya ada saudara yang meminta minyak jelantah ini. Sayang katanya, masih bersih.
Kalau saudara saya sih biasanya mengolah jelantah dengan menggunakan mengkudu. Dengan mengkudu, jelantah yang sudah kotor katanya bisa bersih kembali. Tapi saya sendiri belum pernah mencoba ini.
Di beberapa tempat seperti di Bogor, ada tempat yang menampung jelantah. Jelantah ini ada yang diolah menjadi bahan bakar kendaraan bahkan bahan bakar kompor.
Hmmm… kalau begitu sih tidak masalah ya. Yang membuat saya agak mengernyitkan dahi adalah ketika seorang teman memberi tahu, kalau ada tempat penampungan jelantah yang sudah tidak terpakai. Jelantah ini kemudian dijual tanpa diolah kembali. Pembelinya? Dengar-dengar sih para pedagang nasi goreng. Aduh, pantas saja nasi goreng pinggir jalan rasanya enak.
Meski sudah mengikuti resep dari google, pakai bumbu instan berganti-ganti merk, rasanya sulit menandingi rasa nasi goreng pinggir jalan… haha…
Eh, kalau teman-teman bagaimana? Jelantah yang sudah dipakai terus diolah, disimpan atau dibuang begitu saja?