20.10, ruang tunggu klinik, menunggu dokter spesialis jantung yang tak kunjung tiba…
Terlihat seorang bapak duduk di kursi roda, berusia 60 tahunan atau …? Entahlah, yang jelas perawakannya terlihat seperti umur 60-an.
Badan kurus kering, terengah-engah menarik nafas yang tampak berat, lemas memeluk bantal yang tentunya sudah beliau bawa sejak dari rumah.
Di sampingnya duduk seorang wanita cantik, usia 35-40 an, kulit putih bersih, tinggi semampai, berbalut jilbab hijau ditambah senyum selalu merekah di bibirnya.
Suasana di ruang tunggu sepi dan saya pun mulai bosan bermain-main dengan gadget sendirian. Abah saya sedang istirahat di bed ruang tindakan, karena tidak kuat kalau harus berlama-lama duduk. Ibu saya juga turut menemani Abah. Akhirnya saya memberanikan diri untuk mengobrol dengan wanita cantik tadi.
Dari obrolan tersebut akhirnya saya jadi tahu, kalau ternyata wanita cantik tadi (sebut saja Sinta) adalah istri Pak Ade, si bapak yang duduk di kursi roda. Padahal tadinya saya pikir Ibu Sinta itu mengantar bapaknya, seperti halnya saya mengantar Abah.
Menurut cerita Ibu Sinta, Pak Ade menderita kebocoran pada klep jantungnya. Pak Ade sudah lama berobat ke dokter yang sama-sama sedang kami tunggu. Biasanya Pak Ade berobat ke Rumah Sakit Internasional di daerah Statsiun Bandung. Hanya saja beberapa kali ini Pak Ade berobat jalan ke klinik ini. Pasangan suami istri ini tinggal di Ciamis, bolak-balik dua minggu sekali dari Ciamis ke Bandung hanya untuk berobat jalan ke dokter spesialis jantung.
Entah sudah habis berapa rupiah untuk ongkos berobat baik itu rawat inap, rawat jalan, ataupun transport dan akomodasi. Yang jelas, mengurus orang sakit itu perlu ekstra tenaga, perhatian dan menyita waktu lebih banyak dari biasanya.
Tapi Pak Ade yang sesekali menimpali cerita Ibu Sinta dengan bangga mengatakan, bahwa meski keadaan Pak Ade saat ini sakit parah, namun Pak Ade bahagia, karena Ibu Sinta amat sangat ikhlas mendampingi Pak Ade di masa sakitnya…
Pancaran sinar mata dan senyuman Ibu Sinta tadi tampak menunjukkan semangat untuk ditularkan ke Pak Ade. Meskipun dalam kondisi kesulitan bernafas, Pak Ade tampak tenang dan nyaman sekali berada di samping istrinya.
Saya pun takjub dengan kondisi yang dihadapi mereka…
Saya jadi teringat ibu saya yang selama 40 tahun ini sudah setia mendampingi Abah. Ibu dan Abah menikah di tahun 1974. Tidak sedikit cobaan yang mereka alami dalam mengarungi rumah tangga. Selama 3 tahun terakhir, Abah saya bolak balik menjalani perawatan baik rawat jalan di klinik ataupun rawat inap di Rumah Sakit selama beberapa hari. Tahun 2010 yang lalu, Abah pertama kali mendapat serangan jantung. Saat itu Abah diharuskan menjalani operasi pemasangan ring untuk mengatasi penyumbatan pembuluh darah di jantungnya. Operasi diulangi beberapa bulan kemudian, karena ternyata terjadi lagi penyumbatan pembuluh darah.
Selama mendampingi Abah, Ibu saya pun tidak dalam keadaan sehat. Sudah cukup lama beliau menderita penyakit darah tinggi dan juga pembengkakan jantung. Tetapi tatkala Abah tiba-tiba menurun kesehatannya, ibu saya selalu tampak lebih kuat. Berhari-hari menginap di Rumah Sakit menemani Abah tanpa mau digantikan bahkan oleh anak-anaknya. Seolah sakit yang dirasakannya menghilang. Saya yakin hal itu dilakukan ibu saya agar Abah memiliki semangat untuk sehat kembali.
Lalu, terbersit pertanyaan…
Sanggupkah saya setia mendampingi pasangan hidup yang telah saya pilih dalam keadaan suka dan duka??? Seperti wanita cantik tadi yang tetap tabah dan ikhlas mendampingi suaminya yang sekarang sedang megap-megap di atas kursi roda, atau seperti ibu saya yang setia mendampingi Abah saya sampai saat ini??
Semoga. Ya… semoga saya tetap bisa setia seperti yang telah dicontohkan oleh mereka yang berada di dekat saya, juga seperti Cap Kaki Tiga, yang selama 75 tahun Setia Memberi Manfaat.
wow..
kesetiaan ibu memang tiada tara..
kelak juga akan mendapat balasannya..
mantapz artikelnya sis.. ^_^!
terima kasih… semoga kita bisa meneladani mereka yang bisa setia ya 🙂
Psting yang bagus saya sangat menyukainya…