Sehari di Klinik TB RSHS Bandung (Bagian I)

By | March 8, 2015

Hari kedua Workshop #SahabatJKN #LawanTB (4 Maret 2015), peserta diajak mengunjungi Klinik TB RSHS Bandung. Saya sih cukup sering berkunjung ke RSHS, hanya saja kunjungan khusus ke Klinik TB ya baru kali ini. Biasanya hanya seputar IGD, kamar rawat inap, IPJ, laboratorium dan apotek khusus BPJS.

Awal kunjungan peserta mendapatkan penjelasan dari Tim TB RSHS di Aula Gedung Ilmu Penyakit Dalam yang terletak di lantai 5.

Dr. Arto Yoewono, Sp.PD, KP menjelaskan secara rinci tata laksana penanganan TB di rumah sakit, khususnya di RSHS yang tentu saja berbeda dengan penanganan TB di Puskesmas.

IMG_5551

Dr. Arto Yuwono, Sp.PD, KP (dokpri)

Strategi Pengendalian TB mencakup penerapan Strategi DOTS, pengelolaan  kasus TB yang kebal terhadap obat anti TB (MDR/multi drug resistance), koinfeksi TB – HIV, memperkuat sistem pelayanan kesehatan, keterlibatan semua penyedia layanan kesehatan serta meningkatkan kegiatan penelitian. Di RSHS, Tim TB terbagi menjadi 3 unit utama, yaitu Unit DOTS, Unit TB-HIV, dan Unit TB-MDR.

IMG_5554

Struktur Organisasi Tim TB RSHS (dokpri)

Usai mendengarkan penjelasan dari Dr. Arto, peserta workshop #SahabatJKN #LawanTB diajak berkeliling ke masing-masing unit. Tentu saja sebelum berkeliling, setiap peserta dibagikan masker sebagai tindakan pencegahan penularan TB yang mungkin saja terjadi. Masker yang dibagikan bukan masker biasa/surgical mask seperti ini lho…

Masker bedah/surgical mask (Sumber : ntennurse.blogspot.com)

Kenapa bukan masker biasa? Masker biasa seperti ini biasanya dipakai tenaga kesehatan ketika melakukan tindakan operasi, makanya banyak orang mengenalnya sebagai masker bedah. Masker ini efektif untuk mencegah cairan keluar dari mulut dan hidung. Kalau pasien TBnya sendiri memang dianjurkan untuk memakai masker biasa, untuk mencegah bakteri TB keluar dari mulut pasien.

Lalu bagaimana dengan partikel dan mikroorganisme dari luar? 

Nah, untuk mencegah  terhirupnya partikel dan mikroorganisme yang berukuran sangat kecil (termasuk bakteri TB yang bisa saja ada dimana-mana), apalagi kami akan berkunjung ke klinik tempat pasien TB berobat, kami dibagikan masker N95. Maskernya keren deh…

Masker N95 (dokpri)

Masker N95 (dokpri)

Sayang usai kunjungan ini Mas Varrel meminta kami membuang masker N95 yang kami pakai.

“Daripada bawa kuman kemana-mana”, begitu Mas Varrel bilang.

Yaaaaah… tadinya mau dibuat jadi oleh-oleh buat anak-anak heuheuheu.

Karena banyaknya peserta Workshop (ada 40 blogger), kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok bergantian mengunjungi seluruh Unit TB plus Klinik Teratai di RSHS. Agar lebih berurut, saya membuat reportase sesuai dengan tahap pengobatan.

Klinik DOTS

Klinik DOTS merupakan tempat bagi pasien yang baru pertama kali didiagnosis TB. Tidak hanya di RSHS, Puskemas dan rumah sakit lain pun seharusnya sudah memiliki Klinik DOTS. Karena penanggulangan TB dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dipercaya dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.

Di Bangladesh dengan strategi DOTS, angka kesembuhan pasien TB mampu mencapai sekitar 80%, di Maldives sekitar 85 % , di Nepal mencapai 85 % sedangkan di RRC mencapai 90 %.

Di Indonesia, strategi DOTS pertama kali dilakukan uji coba pada tahun 1995 dan kemudian diimplementasikan secara luas dalam sistem pelayanan kesehatan dasar

RSHS sendiri menerapkan strategi DOTS dengan mendirikan Klinik DOTS pertama kali di tahun 2006. Hanya saja saat itu Klinik DOTS di RSHS masih berdampingan dengan Klinik Diabetes Melitus. Aduh, padahal kan penderita Diabetes Melitus juga rentan terkena TB.

Di tahun 2012, RSHS mendirikan Klinik DOTS yang sesuai dengan standar Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI).

Eyang @anjarisme, di depan Klinik DOTS RSHS yang sudah sesuai dengan standar PPTI (sumber : twitter Eyang)

Di klinik ini terlihat beberapa pasien yang sedang mengantri. Setiap hari Klinik DOTS ini didatangi kurang lebih 30 pasien. Ada seorang ibu yang menarik perhatian saya, ibu dari seorang anak perempuan penderita TB otak yang sudah saya ceritakan di post sebelumnya.

Dengan ramah DR. dr. Dodi Suyanto, SpPD ( KGEH ) menjelaskan beberapa kategori pasien TB. Gejala khas TB seperti batuk lebih dari 2 minggu, demam, mudah lelah dan berat badan yang terus menurun harus ditunjang dengan pemeriksaan dahak dan hasil rontgent. Jika tidak, bisa terjadi underdiagnosis atau malah overdiagnosis.

Pasien yang termasuk Kategori 1 adalah :

  • pasien dengan BTA+
  • pasien dengan BTA- dan hasil rontgent yang menunjukkan bercak tuberkulosis aktif

Obat yang diberikan kepada pasien adalah OAT-FDC (Obat Anti Tuberculosis – Fixed Dozed Combination) yang harus diminum setiap pagi sebelum makan sesuai dengan berat badan. Untuk pasien TB dengan berat badan < 33 kg 2 tablet, 33 – 54 kg 3 tablet, > 54 kg 4 tablet.

OAT-FDC ini harus diminum sekaligus dalam satu waktu dan tidak boleh dibagi-bagi selama 6 bulan tanpa putus. Dulu, sebelum dibuat OAT-FDC, pasien harus minum obat sebanyak 7-9 butir setiap hari.

IMG_5581

DR. dr. Dodi Suyanto, SpPD ( KGEH ) di Klinik DOTS (dokpri)

Yang perlu diingat adalah, masa pengobatan TB pertama kali ini adalah masa yang paling efektif untuk bisa sembuh dari TB. Kalau tidak, TB bisa resisten terhadap obat dan menjadi TB-MDR yang pengobatannya jauh lebih rumit. Obat yang diminum pun jauh lebih banyak.

Akhir bulan ke-5 (1 bulan jelang selesai masa pengobatan 6 bulan) dilakukan pemeriksaan ulang, dan jika hasil pemeriksaan ulang setelah mendapatkan pengobatan menunjukkan pasien TB belum sembuh, maka pasien dinyatakan masuk Kategori 2. Pasien TB kategori 2 ini harus menjalani pengobatan lanjutan yaitu 2 bulan suntik strepto + obat dan 6 bulan berikutnya obat saja (total 8 bulan).

Hasil pemeriksaan ulang pasien di bulan ke-8 ini menentukan pasien TB Kategori 2 sembuh atau malah masuk kategori TB-MDR. Jika ternyata pasien TB belum sembuh, pasien ini kemudian dirujuk ke Klinik TB-MDR.

Sebelum lanjut ke Klinik MDR, kami berfoto dulu bersama Dr. Dodi…. terima kasih penjelasannya ya, Pak 🙂

SS 2015-03-08 at 8.50.42 AM

Pinjem fotonya ya Mas Varrel 🙂 (Sumber : twitter Mas Varrel)

11046923_645623005567184_8607320382964257470_n

4 thoughts on “Sehari di Klinik TB RSHS Bandung (Bagian I)

  1. HM Zwan

    berarti 6 bulan itu bener2 harus terus menerus berobat ya mak,g boleh putus gitu..masker N9 unik ya,apalagi yang dpakai dokter..
    makasih mak sharingnya,jadi tau banyak tentang TB

    Reply
  2. santoloyo

    hmmmm ternyata semakin banyak jenis penyakit didunia persilatan ini yah..

    Reply

Leave a Reply to apri ani Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *